Oleh : dr.Andri,SpKJ,FAPM (Psikiater, Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine)
Sebagai seorang psikiater yang lebih banyak
menangani kasus-kasus psikosomatik, dalam keseharian praktek saya lebih
sering bertemu dengan kasus-kasus keluhan fisik yang sering tidak
didasari oleh adanya masalah organ yang mendasarinya. Keluhan fisik ini
kebanyakan disebabkan karena aktifitas sistem saraf otonom yang
berlebihan. Beberapa gejala seperti jantung tiba-tiba berdebar kencang,
sesak napas, keluhan lambung yang tidak nyaman adalah hal-hal yang
sering dikaitkan dengan aktifitas sistem saraf otonom yang berlebihan.
Belakangan saya juga banyak didatangi pasien dengan kasus-kasus gangguan
lambung yang tidak kunjung sembuh dalam perawatan dokter penyakit
dalam. Beberapa contoh kasus di bawah ini mungkin bisa membantu
memahami.
Laki-laki usia 48 tahun dengan keluhan nyeri
lambung yang sudah terjadi sejak 2 tahun yang lalu. Perasaan tidak enak
di lambung tidak berkurang dengan asupan makanan. Pasien mengatakan rasa
sebah/kembung yang dirasakan walaupun makan sedikit saja. Pemeriksaan
gastroskopi (endoskopi dan kolonoskopi) sudah dilakukan dan hasilnya
dianggap normal, tidak ada ulkus/luka di lambung. Pemeriksaan H.Pylori
juga telah dilakukan dan hasilnya negatif. Pasien berobat ke internist
khusus lambung (Gastoenterologis/SpPD-KGEH) dan diberikan terapi obat
PPI (Proton Pump Inhibitor seperti gol Omeperazole dan kawan-kawannya
yang dikenal dengan merk Nexium,Pariet,Prosogan dll) dan prokinetik
(Domperidone dikenal dengan merk Motilium,Vometa,Vomitas). Hampir
setahun memakai obat tersebut perubahan hanya terjadi jika makan obat
saja. Jika obat dilepaskan rasa kembung dan tidak nyaman kembali
terjadi. Pasien akhirnya memutuskan sendiri berobat ke psikiater dan
diagnosis saat dilakukan pemeriksaan fisik dan mental lebih mengarah ke
DIspepsia Fungsional dengan latar belakang kepribadian tipe
anankastik/obsesif kompulsif. Pasien direncanakan pengobatan dengan
antidepresan golongan SSRI dan sulpiride pada awal terapi. Perbaikan
gejala dicapai pada hari bulan kedua dan masuk bulan ke tiga pengobatan
SSRI hanya setengah dosis dan sulpiride sudah dilepaskan. Pasien merasa
lebih baik. Pasien makan saat ini tidak terlalu takut lagi karena merasa
sudah sangat nyaman perutnya walaupun makan makanan yang dulu biasa
pasien hindari (cabe, cuka dan lada). Pasien mengatakan sempat lupa
makan obat SSRI-nya selama dua minggu tapi kemudian gejalanya tidak
kambuh. Itulah perbedaan yang dikatakan pasien, ketika dulu makan obat
golongan PPI, jika tidak dimakan gejala kambuh sedangkan pengobatan
dengan antidepresan ketika dihentikan pun tidak berulang. Saat ini
pasien sedang dalam tahapan pelepasan obat dan disarankan untuk tetap
makan obat dengan dosis setengah sampai akhir bulan Desember 2013.
Kasus 2.
Pasien perempuan 35 tahun dengan keluhan rasa
tidak nyaman di lambung dan sering merasa perih seperti ingin makan.
Karena keluhan ini pasien beberapa kali makan dalam sehari (bisa 5-7
kali) agar perutnya tetap terisi menurut pasien. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi rasa nyeri yang timbul karena jika perutnya “kosong” pasien
merasa perih. Pasien awalnya hanya mengobati dirinya sendiri dengan obat
maag dari warung atau coba-coba makan obat golongan H-2 Antagonis
seperti Ranitidine yang dibelinya di apotek. Tapi keluhan tidak
berkurang. Karena khawatir maka pasien berobat ke dokter penyakit dalam
dan kemudian diberikan obat-obat golongan PPI dan juga untuk
antikembungnya. Belum banyak perubahan setelah 3 bulan pengobatan dan
akhirnya disarankan untuk melakukan endoskopi. Hasil endoskopi tidak
menunjukkan adanya ulkus/luka dan kelainan yang dianggap bisa
menyebabkan kondisinya saat ini. Pasien mulai merasakan keluhan cemas
dan mulai kadang sulit tidur. Pasien akhirnya memutuskan berobat ke saya
karena merasa mulai menjadi sering ada keluhan cemas yang berlebihan
karena sakit perut yang tak kunjung sembuh. Pemeriksaan fisik dan status
mental mengatakan bahwa pasien ini mengalami Dispepsia Fungsional
dengan kondisi kejiwaan Gangguan Penyesuaian. Terapi yang diberikan
dengan menggunakan antidepresan SNRI dan terapi simptomatik untuk gejala
lambungnya. Setelah dua bulan melakukan terapi dengan antidepresan
pasien mengalami perbaikan. Saat ini pasien bisa makan 3 kali sehari
seperti biasa tanpa rasa perih di lambung. Keluhan lambung sudah sangat
minimal.
Aspek Psikososial Gangguan Lambung
Gangguan lambung sebagai suatu keluhan utama
atau sebagai keluhan tambahan yang berhubungan dengan gangguan kejiwaan
banyak ditemukan pada pasien-pasien yang berkunjung ke Klinik
Psikosomatik RS OMNI. Lambung memang organ otonom yang sangat
dipengaruhi oleh kondisi sistem saraf otak manusia dan terutama fungsi
kejiwaannya. Lambung bahkan dianggap memiliki “otak” sendiri sehingga
poros lambung dan otak (Brain-Gut Axis) sering dikatakan mempunyai makna
dalam diagnosis dan tata laksana pasien dengan keluhan lambung.
Serotonin yang dikatakan zat yang mempengaruhi perasaan sekalipun lebih
banyak ditemukan di lambung daripada di otak manusia. Inilah yang
menjadi dasar bahwa tata laksana gangguan lambung memang tidak lepas
dari faktor kejiwaan orang itu sendiri.
Secara klinis dalam berbagai penelitian juga
dikatakan bahwa keluhan lambung seperti rasa nyeri, rasa kembung,
perasaan penuh setelah makan walau sedikit, mual, diare sampai sulit
buang air merupakan keluhan lambung yang banyak dihubungkan dengan
gangguan dyspepsia fungsional. Lebih dari 30-40% keluhan lambung
berhubungan dengan dyspepsia fungsional yang berarti pasien tersebut
tidak mengalami masalah organik di lambungnya mereka. Saat trend kuman
Helicobacter Pylory ditemukan, orang ramai-ramai mulai beralih
pengobatannya kepada antibiotic untuk kasus-kasus lambung namun ternyata
banyak hasil yang tidak memuaskan dan juga ternyata tidak semua kasus
lambung disebabkan oleh bakteri ini.
Kasus dyspepsia fungsional sekalipun memang
mempunyai dua tipe yaitu tipe yang seperti ulcer atau yang dismotilitas.
Keduanya mempunyai perbedaan dalam keluhan di mana yang tipe ulcer
biasanya lebih sering mengeluh nyeri sedangkan dismotilitas lebih sering
mengeluh kembung.
Sering menjadi perhatian saya adalah ketika
banyak dokter yang jika sudah merasa obat PPI dan beberapa obat lain
tidak mampu mengatasi keluhan lambung, mereka menambahkan obat golongan
benzodiazepine yang membuat relaks lambung dan pada beberapa kasus
sangat membantu. Benzodiazepine yang paling dikenal di kalangan dokter
kita tahu adalah golongan alprazolam yang mempunyai potensi mengalami
ketergantungan dan peningkatan dosis (toleransi). Sayangnya pengobatan
dengan obat golongan ini tidak bisa lama (tidak boleh lebih dari 4
minggu) dan masalahnya yang terkait adalah jika sudah tidak memakai obat
ini, keluhan lambungnya biasanya akan lebih terasa tidak nyaman/makin
menjadi.
Pengobatan untuk pasien dengan kasus
dyspepsia fungsional memang menarik. Penerimaan pasien terhadap
penyakitnya diutamakan daripada terapi lainnya. Dokter harus mengajak
pasien untuk mampu menerima kondisinya dulu dengan baik agar terapi
selanjutnya bisa berlangsung baik. Pengobatan simptomatik untuk lambung
boleh terus dilakukan namun pada beberapa kasus dikatakan bahwa
pengobatan dengan menggunakan antidepresan golongan SSRI atau SNRI dan
TCA membantu dalam proses perbaikan gejala dan pencegahan gejala
tersebut berulang. Selain itu keseimbangan sistem saraf otonom juga
perlu diperhatikan. Pasien dengan gangguan kecemasan yang mengalami
gangguan dyspepsia fungsional biasanya lebih sering sulit sembuh
daripada yang tidak. Ini membuktikan bahwa adanya masalah gangguan jiwa
memperberat kondisi gangguan medis fisik dan begitupun sebaliknya.
Semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan Dispepsia Fungsional. Salam Sehat Jiwa
sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/12/01/dispepsia-fungsional-gangguan-lambung-yang-sulit-sembuhnya-614758.html
sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/12/01/dispepsia-fungsional-gangguan-lambung-yang-sulit-sembuhnya-614758.html
0 komentar:
Post a Comment